Pekalongan (26/02)- Ulama adalah pewaris nabi, oleh karena itu mereka dituntut untuk memainkan peran para nabi, yaitu menyampaikan ilmu pengetahuan, memperbaiki keimanan dan akhlak masyarakat, sekaligus memberi pemecahan bagi persoalan-persoalan yang dihadapi umat.
Misalnya di Indonesia, para ulama berhadapan dengan tantangan dakwah yang berupa gerakan kristenisasi, gerakan aliran kepercayaan dan kebatinan, gelombang budaya barat yang berupa hedonism, materialisme, kapitalisme, dan lain sebagainya yang tentunya berakibat menjauhkan umat dari agama. Juga tantangan pemikiran keagamaan Islam dengan masuknya konsep-konsep, pendekatan, metodologi dan filsafat liberalisme, sekularisme, pluralisme agama, relativisme, nihilism, dan lain sebagainya yang umumnya berasal dari dunia barat.
Menyikapi hal tersebut, STAIN Pekalongan bekerjasama dengan Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor mengadakan workshop bersama dengan memaparkan beberapa kajian ilmiah terkait. Kegiatan yang dibuka oleh Direktur Pascasarjana STAIN Pekalongan Dr. H. Makrum Kholil, M.Ag ini diikuti oleh beberapa dosen dan mahasiswa STAIN Pekalongan.
Pada kesempatan ini, Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, M.Ed., M.Phil. selaku pembimbing Program Kaderisasi Ulama (PKU) Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor turut serta sebagai keynote speaker. Mengawali ketiga pemateri, beliau menyampaikan pentingnya workshop ini. Maraknya paham-paham yang menyudutkan Islam belakangan ini menimbulkan keresahan di kalangan para ulama dan umat Islam. Kehadiran PKU merupakan sebuah upaya untuk membendung dan membentengi umat dari serangan pemikiran-pemikiran Barat tersebut.
Workshop yang dikemas dengan model diskusi ini diisi tiga pemateri dari PKU Universitas Darussalam Gontor. Mereka adalah Ahmad Kali Akbar dengan mengangkat tema "Hermeneutika vs Ta'wil", sebagai pemateri pertama, kali akbar membahas tentang kerancuan hermeneutika yang sama sekali tidak bisa digunakan untuk menafsirkan Al-Qur’an. Dia juga mengungkap permasalahan metode hermeneutika yang berkembang di berbagai perguruan tinggi Islam saat ini. "Islam sudah memiliki metode tafsir dan takwil yang baku untuk menafsirkan Al-Qur’an. Jadi, tidak perlu menggunakan hermeneutika yang hanya mengandalkan rasio itu" ungkapnya.
Tema kedua tentang "Problem Sosiologis Pluralisme Agama", dipaparkan oleh Abdul Wahid, beliau menjelaskan dampak buruk paham yang menyamakan agama-agama ini. Juga dipaparkan asal muasal munculnya paham yang tampak sebagai pahlawan perdamaian pembawa misi toleransi ini. Namun, di balik itu tersembunyi sebuah tujuan untuk menghilangkan nilai-nilai kebenaran dari suatu agama. Sehingga, tidak boleh lagi ada agama yang mengaku sebagai satu-satunya yang memiliki kebenaran. Untunglah, gerakan pluralisme di Indonesia ditentang keras setiap agama yang memandang betapa berbahayanya paham pengusung relativitas kebenaran ini, terutama Islam.
Pembahasan menarik selanjutnya mengangkat tema “LGBT dalam Perspektif Psikologi Agama", ini merupakan problem penyimpangan orientasi seksual, disampaikan oleh Ayub. Menyeruaknya aktivitas kaum lesbian, gay, biseksual, dan transgender atau biasa disingkat dengan LGBT, benar-benar meresahkan umat Islam. Menurutnya, penyimpangan orientasi seksual ini bukanlah fitrah manusia yang bisa dilegalkan. Ini adalah kesesatan yang harus diluruskan. Ayub juga memaparkan fakta-fakta yang menyatakan bahwa LGBT merupakan penyakit sosial yang bisa disembuhkan dan harus dilenyapkan, bukan dilestarikan.
Akhirnya, kegiatan ini diharapkan bisa memberikan gambaran kepada peserta workshop khususnya mahasiswa, bagaimana seharusnya kita menyikapi paham-paham yang menyudutkan Islam terutama terhadap pemikiran barat yang melemahkan akidah Islam._(arsya).