
Dampak Psikologis Ospek
Kekerasan Verbal Saat Ospek: Luka Psikis yang Sering Diabaikan
Ospek, atau orientasi studi dan pengenalan kampus, telah menjadi bagian dari budaya pendidikan tinggi di Indonesia. Kegiatan ini sejatinya bertujuan membantu mahasiswa baru beradaptasi dengan lingkungan kampus. Namun, dalam praktiknya, tidak sedikit cerita yang muncul justru berisi tekanan, kekerasan verbal, hingga trauma psikologis.
Pertanyaannya: Masihkah Ospek relevan jika meninggalkan luka emosional?
Tujuan Awal Ospek: Membangun Semangat, Bukan Menjatuhkan
Awalnya, ospek dirancang untuk memperkenalkan mahasiswa baru pada sistem akademik, budaya kampus, serta membangun solidaritas antaranggota. Kegiatan ini mencakup sesi motivasi, pengenalan organisasi, hingga pelatihan kepemimpinan.
Namun seiring waktu, makna ospek mengalami distorsi. Dalam banyak kasus, semangat menyambut justru berubah menjadi tekanan sosial—dari candaan kasar hingga penghinaan yang dibungkus ‘tradisi’.
Baca juga: Mengenal Ospek: Tradisi Pengenalan Kampus yang Terus Berkembang
Kekerasan Verbal dalam Ospek: Luka yang Tak Terlihat
Menurut artikel dari Halodoc, kekerasan verbal selama ospek dapat memicu gangguan psikologis jangka panjang. Bentakan, hinaan, dan tindakan merendahkan yang dianggap “biasa” oleh panitia, bisa sangat menyakitkan bagi remaja yang masih dalam tahap pembentukan identitas diri.
Beberapa dampak yang mungkin muncul:
-
Penurunan kepercayaan diri
-
Kecemasan sosial
-
Gangguan tidur
-
Bahkan trauma psikologis mendalam
Psikolog klinis menyebut bahwa remaja adalah kelompok yang paling rentan mengalami gangguan emosi akibat tekanan verbal, apalagi jika dilakukan secara berulang dan di depan publik.
Manfaat Ospek yang Sebenarnya Bisa Dicapai Tanpa Kekerasan
Meski banyak kritik, ospek tetap memiliki sisi positif, terutama jika dilakukan dengan pendekatan edukatif dan empatik. Ospek yang sehat bisa:
-
Membantu mahasiswa mengenali sistem belajar yang berbeda
-
Membangun jejaring pertemanan awal
-
Mengembangkan soft skill seperti kerja tim, komunikasi, dan kepemimpinan
Hal ini hanya bisa terwujud jika ospek dijalankan dengan konsep yang mendidik dan mengedepankan psikologi perkembangan mahasiswa.
Saatnya Evaluasi: Budaya Tak Selalu Harus Dilestarikan
Sebagian orang membela kekerasan verbal di ospek dengan alasan “kami juga dulu mengalaminya dan jadi kuat”. Tapi konsep ini sudah tidak relevan dalam konteks pendidikan modern. Pengalaman pahit bukan pembenaran untuk melestarikan kekerasan.
Budaya ospek yang baik harus adaptif terhadap zaman. Kampus bukan tempat untuk menunjukkan dominasi senior, tapi ruang untuk menumbuhkan rasa aman dan percaya diri pada mahasiswa baru.
Penutup: Ospek Seharusnya Menumbuhkan, Bukan Melukai
Di era pendidikan yang semakin inklusif dan berorientasi pada kesehatan mental, ospek harus bertransformasi menjadi kegiatan yang ramah, edukatif, dan suportif. Tanpa kekerasan verbal, tanpa tekanan yang tak perlu, dan tanpa luka batin yang tersisa.
Karena setiap mahasiswa baru tidak butuh ‘ujian mental’, mereka butuh sambutan yang manusiawi.